|

|
Senin, 22 September 2008 00:00:00
Baptisan Anak
Baptisan Anak-1
Ada sejumlah orang yang menimbulkan kehebohan di dalam gereja berkenaan dengan
baptisan anak-anak. Dengan sombong mereka mengatakan bahwa baptisan ini tidak memiliki dasarnya sebagai institusi Allah, tetapi
dimasukkan kemudian semata-mata berdasarkan ide manusia. Tentu kita menyetujui bahwa suatu sakramen yang tidak berdiri di atas
dasar Firman Tuhan, tidak akan mempunyai kekuatannya. Tetapi bagaimana kalau setelah diperiksa, ternyata tuduhan yang
dilontarkan terhadap institusi yang kudus ini hanyalah fitnah yang tidak beralasan.
Inilah jawaban kita. Pertama,
ajaran yang sudah diterima baik di antara orang-orang saleh ialah pandangan yang tepat mengenai tanda-tanda tidak terletak
hanya pada segi lahiriah dari upacara itu, tetapi terutama terletak pada janji dan rahasia-rahasia (kebenaran-kebenaran) rohani
yang digambarkan oleh upacara yang diperintahkan oleh Tuhan itu. Alkitab menyatakan bahwa baptisan pertama-tama menunjuk kepada
pembersihan dari dosa, yang kita peroleh dari darah Kristus; selanjutnya ialah pematian kedagingan, yang didasarkan pada
keikutsertaan kita dalam kematian-Nya yang melaluinya kita dilahirkan kembali untuk memperoleh hidup yang baru dan persekutuan
dengan Kristus. Inilah intisari ajaran Alkitab tentang baptisan; yang ada di luar itu hanyalah suatu tanda yang menyatakan
kepercayaan kita di hadapan orang-orang.
Sebelum baptisan ditetapkan, umat Allah telah memiliki sunat. Ketika
menyelidiki perbedaan dan kesamaan antara kedua tanda ini, terlihatlah hubungan anagogi keduanya, maksudnya, sunat
mengantisipasi baptisan. Janji yang diberikan Allah kepada para bapa leluhur dalam sunat, juga diberikan kepada kita dalam
baptisan, yaitu sebagai gambaran tentang pengampunan dosa dan pematian kedagingan (bdk. Ul. 10:16; 30:6). Sekarang kita dapat
melihat dengan jelas persamaan dan perbedaan kedua tanda ini. Dalam keduanya terdapat janji yang sama, yaitu anugerah Allah
yang penuh kebapaan, pengampunan dosa, dan kehidupan kekal. Hal yang dirujuk keduanya juga sama, yaitu kelahiran baru, dan
keduanya memiliki satu landasan yang sama yang menjadi dasar bagi penggenapan semua ini. Jadi tidak ada perbedaan kebenaran
internal yang melaluinya seluruh kekuatan dan karakter dari sakramen ini diuji. Perbedaan antara keduanya terletak di bagian
luar, yaitu upacara lahiriah, yang merupakan seginya yang paling idak penting.
Ketika menyelidiki Alkitab untuk
mengetahui apakah dibenarkan untuk melakukan baptisan kepada anak-anak, kita akan menemukan bahwa baptisan bukan saja layak
diberikan, bahkan wajib diberikan kepada mereka. Bukankah dulu Tuhan telah menganggap mereka layak menerima sunat untuk membuat
mereka berbagian dalam semua janji yang ditunjuk oleh sunat? Penyunatan bayi ini bagaikan meterai yang mengesahkan janji-janji
kovenan. Dan karena janji ini masih teguh maka semua ini juga berlaku bagi anak-anak Kristen sekarang ini, sama seperti dulu
menyangkut anak-anak Yahudi. Dan kalau anak-anak ini turut mendapat bagian dalam apa ditunjuk oleh tanda itu, mengapa mereka
harus dicegah untuk mendapatkan tandanya?
Alkitab bahkan membukakan kepada kita kebenaran yang lebih pasti.
Anak-anak Yahudi, karena telah dijadikan sebagai pewaris kovenan ini, dan dibedakan dari orang-orang yang fasik, sehingga
mereka disebut benih yang kudus (Ez. 9:2; Yes. 6:13). Demikian juga, anak-anak Kristen dianggap kudus, yang dibedakan dari
orang-orang yang najis (1Kor. 7:14). Kita melihat bahwa setelah mengadakan kovenan dengan Abraham, Tuhan memerintahkan supaya
hal ini dimeteraikan oleh suatu tanda lahiriah, dengan demikian, kita tidak mempunyai alasan untuk tidak menyaksikan dan
memeteraikan kovenan ini di dalam diri anak-anak kita.
(John Calvin, Institutes of the Christian Religion, IV.16.,
disadur oleh Ev. Solomon Yo, M.Div.)
Baptisan Anak-2
Ketika Kristus memerintahkan supaya
anak-anak dibawa kepada-Nya, Ia menambahkan “karena orang-orang seperti inilah yang empunya kerajaan Allah.” Pertanyaan kita
ialah jika anak-anak harus dibawa kepada-Nya, mengapa mereka tidak sekaligus diterima dalam baptisan, yaitu simbol persekutuan
dengan-Nya? Jika Kerajaan Allah adalah milik mereka, mengapa kita menolak tanda yang membuka jalan bagi mereka untuk masuk ke
dalamnya? Mengapa kita menutup pintu bagi mereka yang hendak Allah terima?
Karena itu, janganlah ada seorang pun
yang tidak menerima bahwa baptisan bukanlah karangan manusia, karena Alkitab membenarkan dan menunjang hal ini. Orang-orang
yang menolak baptisan anak karena mengatakan tidak ada bukti bahwa para rasul membaptiskan anak-anak adalah tidak meyakinkan.
Sebab, walaupun para penulis Injil tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa anak-anak juga dibaptis, namun mereka juga tidak
menyebutkan bahwa anak-anak dikecualikan dari baptisan yang diberikan kepada seluruh keluarga (Kis. 16:15, 32-33). Siapakah
yang dapat menunjukkan dari nas-nas ini bahwa anak-anak tidak turut dibaptis? Apakah karena Alkitab tidak pernah menuliskan
secara eksplisit bahwa wanita juga turut menerima Perjamuan Kudus oleh para rasul, maka wanita harus dikecualikan dari
Perjamuan Kudus.
Selanjutnya kita akan menunjukkan berkat apa yang diberikan oleh pelaksanaan baptisan anak ini
kepada orang percaya yang menyerahkan anak-anaknya untuk dibaptis dan bagi anak-anak yang dibaptis itu, agar jangan ada orang
yang melecehkannya sebagai hal yang tidak berguna. Melalui institusi/sakramen kudus ini iman kita mendapatkan penghiburan.
Sebab tanda ilahi yang diberikan kepada anak itu menegaskan janji yang diberikan kepada orangtua yang saleh dan menyatakan
bahwa secara pasti Tuhan akan menjadi Allahnya dan bahkan Allah anak-anaknya; dan bahwa Ia akan mencurahkan kebaikan dan
anugerah-Nya kepadanya dan keturunannya hingga beribu-ribu angkatan (Kel. 20:6). Mereka yang menyambut janji Allah, yaitu bahwa
kemurahan Allah menjangkau hingga kepada anak-anak mereka, hendaklah memahami kewajiban mereka untuk mempersembahkan anak-anak
mereka kepada gereja untuk dimeteraikan oleh simbol kemurahan, dan dengan demikian, memberikan keyakinan yang lebih sungguh
kepada mereka, karena mereka melihat sendiri kovenan Tuhan telah diukirkan di dalam diri anak-anak mereka.
Di pihak
lain, anak-anak juga menerima berkat baptisan. Dengan dimasukkannya mereka ke dalam tubuh gereja, berarti mereka telah
dipercayakan kepada anggota-anggota tubuh yang lain, dan ketika mereka sudah dewasa, mereka akan lebih terdorong untuk
sungguh-sungguh menyembah Allah karena mereka telah diterima menjadi anak-anak Allah melalui simbol adopsi, sebelum mereka
cukup besar untuk mengakui Dia sebagai Bapa. Akhirnya, kita patut merasa gentar terhadap ancaman yang menyatakan bahwa Allah
akan membalas siapa saja yang menganggap hina pemberian tanda simbol kovenan kepada anak-anaknya. Karena dengan penghinaan
seperti ini, anugerah yang ditawarkan telah mereka tolak, dan bahkan ingkari (Kej. 17:14).
Sebagian orang
mengatakan bahwa anak-anak tidak boleh dibaptis karena mereka belum cukup umur untuk dapat mengerti misteri (kebenaran) yang
dirujuk oleh baptisan, yaitu kelahiran baru secara rohani. Orang yang berkata demikian tidak mengerti bahwa anak-anak
dilahirbarukan oleh karya Allah yang melampaui pengertian kita. Alasan mereka yang lain ialah karena baptisan adalah sakramen
pertobatan dan iman, maka anak-anak tidak boleh dibaptis karena mereka belum dapat bertobat maupun beriman. Kita akan menjawab
bahwa argumen ini tidak dapat menjawab pertanyaan mengapa Allah memerintahkan penyunatan anak-anak, yang disebut oleh Kitab
Suci sebagai tanda pertobatan, dan yang disebut oleh Paulus sebagai “meterai kebenaran berdasarkan iman” (Rm. 4:11). Kita
menyatakan bahwa anak-anak dibaptis dalam pertobatan dan iman yang akan mereka lakukan di masa yang akan datang, dan benih ini
tersimpan dalam diri mereka karena karya Roh Kudus. (John Calvin, Institutes of the Christian Religion, IV.16., disadur oleh
Ev. Solomon Yo, M.Div.)
Oleh: DR. JOHN CALVIN
Sumber:
Artikel 148 dan 149 di Reformed Evangelical
Daily Bible Readings (READY Bread)
dilihat : 445 kali