|

|
Senin, 22 Januari 2007 00:00:00
Kyai Sadrach V
Kyai Sadrach V
Tetapi, tidak terbantah lagi, orang-orang Belanda-lah
yang memulai perselisihan dengan orang Kristen Jawa. Kisah ini memang tidak jelas, dan sumber misionaris Belanda, dapat
dimaklumi, tidak memberikan penekanan pada episode ini. Untuk mengungkapkan kejadian yang sebenarnya, terpaksa diusahakan
membaca yang tersirat dari bahan-bahan yang ada.
Lokasi peristiwa masih tetap Purworejo yang berpenduduk kurang dari
10.000 jiwa, sebuah kota kolonial yang terpencil: waktu itu belum ada jalan kereta api. Sebuah kota mungil di pedalaman, dengan
perumahan, orang-orang Belanda yang bagus-bagus, dengan jalan raya yang pinggirnya ditanami pohon-pohon asam yang besar.
Pegawai sipil dan militer berlomba-lomba membangun vila mereka yang elok di tengah-tengah kebun.
Kota kecil itu
terlalu luas untuk menampung bangunan pemerintah yang jumlahnya hanya beberapa. Keresidenan, bangunannya sudah disesuaikan
dengan kondisi tropis, dengan tiang-tiang model Yunani (Doria). Beberapa meter di belakang gedung ini terdapat penjara dan
Gereja Protestan. Kaum pribumi tinggal di sekeliling bangunan itu. Di dekat Masjid Agung di Alun-Alun adalah Kauman. Di
belakangnya terletak perumahan orang-orang Belanda, dan kampung Cina dengan rumah-rumahnya yang khas, yang sekaligus merupakan
pusat perdagangan.
Bangunan lainnya adalah beberapa gudang milik VOC, dan benteng tempat tinggal tentara kolonial
bumiputra. Yang tak tersangka adalah pemakaman Belanda di tengah-tengah kota: masing-masing kubur dengan marmar dan patung yang
khas menebarkan suasana tanah leluhur. Dengan mengamati makam yang sekarang hanya setengah terpelihara ini, akan diperoleh
sepotong gambaran tentang kehidupan di kota kecil ini abad yang lalu: terdapat pembedaan antara golongan pegawai pemerintah dan
penguasa swasta - dua-duanya Belanda. Yang satu lebih banyak uangnya, yang lain lebih berkuasa.
Residen adalah
pribadi terpandang yang berfungsi hanya semacam tugu, bagaikan monumen kematian yang selalu menjadi saksi. Tugasnya cuma
mengurus persoalan administrasi ringan; semuanya telah diatur Pusat. Para pembantunya - biasanya tinggal di kota-kota yang
lebih kecil - disibukkan dengan masalah pengawasan tak henti-henti terhadap rakyat pribumi.
Di antara para pegawai
Belanda ada yang berkedudukan cukup baik sehingga punya hak, sarana (dan selera) untuk membawa serta keluarga mereka dari
seberang yang jauh. Selain itu terdapat
pula mereka yang datang ke Hindia Belanda sendirian - umumnya tergolong dalam
jenjang kepegawaian yang lebih rendah. Biasanya mereka mengambil wanita Jawa sebagai gundik. Anak-anak yang lahir dari hubungan
semacam ini nantinya akan membentuk suatu dunia tersendiri bila sang bapak pulang selama-lamanya ke negeri
asal.
Berdasarkan ciri-cirinya yang ada di pekuburan Belanda tadi, dapat pula diketahui siapa di antara mereka yang
menganut Kristen dan siapa yang tidak percaya akan agama. Juga ada pembedaan antara pendeta Gereja Protestan yang merupakan
pegawai negeri yang dihormati (jika meninggal dimakamkan di depan gapura masuk) dan para misionaris yang tidak memperoleh
imbalan layak.
Setelah melewati kehidupan yang sumpek di kota, orang (Belanda) tidak dapat dengan mudah menemukan
tempat rekreasi; lalu pergi ke mana? Kalau liburan cukup panjang, yang kaya akan mencari udara segar ke Wonosobo yang terletak
di pegunungan.
Di Purworejo sendiri, orang (Belanda, lagi) saling mengundang dan bertengkar: terlalu banyak acara
dalam komunal Belanda yang secuil itu. Tuan Residen tentulah harus mengurus tetek-bengek ini dan itu secara tak terbatas; maka
malam pun merambat dengan hangat dan panjang. Sementara itu, makin banyak orang sakit yang sering-sering harus
meninggal.
Beberapa orang hanya memimpikan pulang ke Belanda, sedangkan mereka yang sukses ingin tetap tinggal. Di
kota kecil ini mereka saling mengintai kelemahan, dan iri. Hubungan masing-masing dengan rakyat pribumi hanya hubungan atasan
dengan bawahan. Di tengah-tengah, di antara masyarakat Belanda dan bumiputra, terdapat kelompok peranakan yang
tadi.
Terdapat perbedaan-perbedaan kecil yang mempunyai dampak besar antara mereka - seperti hak untuk mempergunakan
kereta surat. Selain Belanda dan pribumi, ada lagi golongan-golongan Arab dan Cina; semua terbagi-bagi, sendiri-sendiri.
Peristiwa paling kecil pun, yang terjadi di komunal Belanda yang terbatas itu, segera berkembang menjadi semacam epos. Dalam
dunia yang tertutup itulah berkembang kejadian-kejadian di seputar kristenisasi ini.
Ketidaksenangan komunal
Belanda, akibat sangat banyaknya komunal Jawa di Gereja Purworejo yang didirikan khusus untuk Belanda itu, di tahun 1872 itu
memunculkan konflik.
Di antara para anggota Komite Paroki timbul perselisihan. Mula-mula antara Philips dan
Schneider, yang sama-sama pensiunan pengawas perkebunan. Philips akhirnya mengundurkan diri. Menurut laporan Heyting yang
menyimpan arsip Gereja Purworejo, "Residen sendiri yang turun tangan dengan mengangkat Schneider sebagai penanggung jawab
registrasi pembaptisan kaum pribumi, dan Kielberg menggantikan kedudukan Philips."
Kemudian antara Schneider dan
Kielberg pun timbul pertengkaran - dan kali ini kelihatannya Kielberg yang menang karena Schneiderlah yang mendapat giliran
pergi meninggalkan Purworejo.
Data di atas hanyalah semacam perincian dari persaingan yang cukup keras di kota kecil
ini, yang meledak setelah keberangkatan Pendeta Troostenburg ke Semarang. Menurut daftar dari pos-pos yang pernah ditempatinya,
Troostenburg berangkat ke Semarang April 1873, dan baru beberapa bulan kemudian sudah memperoleh cuti pulang ke Negeri
Belanda.
Padahal, selama ini pemerintah Hindia Belanda tidak pernah memutasikan pegawai (pendeta adalah pegawai)
yang baru bertugas beberapa bulan - seperti Troostenburg di Semarang itu. Tentu ada apa-apa di balik peristiwa ini, dan
bukti-bukti memang cukup banyak. Dua hari sebelum keberangkatannya, misalnya, Troostenburg berhasil membaptis 310 orang Jawa,
jumlah luar biasa yang dapat ditafsirkan sebagai "perjuangan sampai titik darah penghabisan" sang pendeta. Membaptis banyak
Jawa bisa berarti punya akar di kalangan Jawa - dan memang begitulah pendeta ini.
Pengganti Troostenburg adalah
Thieme, penulis buku Roses et orties: coup d'oeil sur cette vie. Intrik tampak lebih jelas: pada 7 April juga, yang merupakan
hari keberangkatan Troostenburg, Thieme memutuskan untuk "memisahkan diri secara total dari misi". Mungkin ini hanya sekadar
dalih untuk pura-pura menyelamatkan muka, dengan alasan orang Kristen Jawa tidak mau menerimanya. Padahal, Gereja Protestan
sendirilah yang sudah berbulat hati untuk memutuskan hubungan dengan Jawa-Jawa itu. Mengenai gereja, direncanakan akan diadakan
pemisahan secara rasial (persis seperti yang berlaku di Afrika Selatan, misalnya saja).
Sangat menarik untuk
dilihat, betapa kemudian Belanda, dengan mudahnya, memutar balik kenyataan dengan meletakkan tanggung jawab ketegangan antar
ras itu kepada kaum pribumi. Contoh: analisa yang dibuat Heyting dalam laporannya tahun 1883. Benar bahwa Heyting baru tiba di
Purworejo tahun- 1878, jadi lima tahun kemudian. Namun, mustahil bila peristiwa ini tidak pernah lagi dibicarakan dalam
lingkungan gereja di kota kecil. Di samping itu, Heyting memiliki arsip paroki di tempat kediamannya, dan teranglah -
sebagaimana terlihat nanti - ia membaca arsip itu. Toh ia menulis:
"Ketika Pendeta Troostenburg de Bruijn berangkat,
1873, komunal Kristen pribumi sama sekali tidak mau berhubungan dengan penggantinya, Thieme. Bahkan mereka berkata, entah benar
entah tidak, sang pendeta pengganti itu tidak sesuai dengan keinginan mereka .... Semua ikhtiar untuk bekerja sama (dengan
Sadrach dan pengikutnya) telah gagal; dalam rangka memperluas dominasinya Sadrach pindah ke Karangjoso
....."
Padahal, Thieme memutuskan untuk memisahkan diri dengan komunal Jawa pada hari keberangkatan Pendeta yang
digantikannya, dengan kata lain pada hari atau keesokan hari kedatangan Thieme sendiri di Purworejo. Cukupkah tempo yang
sesingkat itu bagi orang-orang Jawa, dan Sadrach, untuk menilai bahwa "Thieme kurang perhatian terhadap mereka"? Di pihak lain,
Sadrach berangkat ke Karangjoso bukan untuk mengambil jarak dengan orang Belanda; ia sudah tinggal di sana sejak tiga tahun
sebelumnya. Akan halnya "semua ikhtiar untuk bekerja sama (dengan Sadrach) telah gagal", pernyataan itu tidak masuk
akal.
Dapat dibayangkan betapa sakit hati Sadrach dan pengikutnya setelah orang Belanda, yang dikomandoi sang
pendeta, menutup pintu Gereja Purworejo dari mereka. Dan ini mempunyai dampak sangat besar terhadap garis haluan yang akan
ditetapkan Sadrach bagi pengikutnya.
Vermeer, misionaris yang sudah merasa sukses dengan "tur pembaptisan" yang
sudah disebut, sekarang ini beramal dengan mengintegrasikan pengikut Sadrach di daerah Banyumas ke dalam kelompoknya. Tetapi
reaksi tajam, sekarang, datang dari Soleman, pribumi penyebar Kristen di daerah itu: pemeluk Kristen pengikut Sadrach, katanya,
tidak berhubungan lagi dengan londo Kristen. Sebagaimana diketahui, para penanggung jawab komunal tidak pernah melakukan
sesuatu tanpa persetujuan guru mereka. Jadi, dapat dipastikan bahwa pernyataan di atas memang berasal dari Sadrach yang
bertekad memutuskan hubungan dengan Vermeer. Misionaris ini, seperti orang-orang Belanda lainnya, sangat menyepelekan Sadrach.
Ia, yang sangat terkesan oleh prestasi "1.000 pembaptisan dalam 17 hari", sebenarnya tidak mengerti apa yang
terjadi.
Vermeer menulis surat kepada Philips, memintanya menjadi penengah antara Sadrach dan dirinya. Philips
menyanggupi, dan mengirim tangan kanannya, Markus. Tetapi perundingan Sadrach-Vermeer berubah menjadi pertengkaran - dan dengan
ini hubungan Sadrach dengan gereja-gereja Kristen betul-betul putus. Konsekuensinya: orang Jawa pengikut Sadrach tidak mungkin
lagi menerima sakramen (pemberkatan).
Heyting bisa menambahkan: "Dendam Sadrach terhadap orang Kristen Belanda
semakin membara. Ia bahkan melarang pengikutnya dan anak-anak mereka dibaptis, dengan dalih bahwa itu sama sekali tidak berguna
untuk Pengadilan di Akhirat nanti ...." Juga, menurut Heyting, komunal itu tidak lagi memakai istilah "ajaran Kristen".
Melainkan "agama suci".
Akhirnya, meski dapat dibuktikan bahwa Sadrach sangat menaruh hormat kepada Nyonya Philips,
tidak ada tanda-tanda bahwa hubungan mereka masih berkelanjutan seperti semula. Untuk pertama kalinya, sejak pertengkaran
dengan Vermeer, Sadrach memperlihatkan wajah yang sebenarnya: wajah seorang guru yang angkuh, dan dengan sadar bersikap tegar
dan berkuasa penuh di tiap komunal.
Sikap ini pada gilirannya menimbulkan berbagai kesulitan pada Sadrach. Kabar
angin dan gosip yang berasal dari lingkungan Vermeer mulai menyerang kiai yang berani menentang kemauan seorang Belanda ini.
Karena kabar burung itu segera tersebar luas, pergunjingan pun menjadi semakin nyata di Bagelen.
Jembatan yang
menghubungkan orang Belanda dengan orang Jawa ambruk sudah. Dan sumber-sumber Belanda yang kita miliki terhenti pada
tahun-tahun 1874, 1875, dan 1876. Sedikit sekali yang kita ketahui, sehingga sukar melukiskan peristiwa itu secara
kronologis.
Yang jelas, Sadrach tidak menghentikan dakwahnya. Setelah menjelajah dataran rendah, ia mulai
menaklukkan daerah pegunungan. Lalu di Jembangan, dekat Purworejo, tahun 1874 ia membangun gereja yang ketiga sesudah
gereja-gereja Karangjoso dan Banjur - terletak dekat rumah bekas guru yang dikristenkannya, Kiai Coyontani. Pada saat ini
terdapat 2.500 orang pengikut Sadrach dan tiga rumah ibadat.
Di masa ini juga, menurut Heyting, muncul kabar angin
yang aneh dan sukar dipercaya, menyangkut pribadi Sadrach: ia memiliki tanda-tanda pada kedua tangannya yang membuktikan bahwa
dialah Kristus. Suatu ketika ia, berada dalam gereja yang tertutup, dapat menghilang - dan muncul kembali tiga hari sesudah
itu. Pengikutnya menafsirkannya sebagai bukti-bukti bahwa ia bukan manusia biasa. Ia tidak hanya sekadar disebut imam (pemimpin
agama) melainkan juga bopo, kiai, dan tiyang sepuh (orang tua).
Sumber isu ini lagi-lagi lingkungan Vermeer
Sementara itu, Vermeer sendiri sudah mengakhiri tugasnya - diperhentikan secara resmi - dan meminta pulang ke Belanda. Ia
dipulangkan tahun 1877.
Dan bulan Mei 1876, Nyonya Philips meninggal. Usianya 51 tahun. Si suami kemudian menetap di
rumah saudarinya di Banyumas. Dua orang Belanda yang penghabisan, yang baik terhadap Sadrach, telah pergi. Tidak berarti bahwa
hubungan antara Sadrach dan Philips Yotham lalu hanya memiliki kata-kata pujian terhadap suami-istri Philips itu ; mereka
adalah "orangtua angkat sang kiai" (menurut Yotham, ungkapan itu berasal dari Sadrach sendiri). Kecuali keluarga Philips, tidak
ada nama Belanda yang disebut dalam "Manuskrip Karangjoso". Bahkan tidak nama Wilhelm, misionaris yang punya hubungan yang
meyakinkan dengan Sadrach. Sadrach telah memulai babak baru.
* * *
Sepeninggal Nyonya Philips itu, ia
memutuskan untuk betul-betul menguasai para pengikutnya dan sejak itu orang Belanda tak henti-henti menuduhnya bangga dan haus
kekuasaan. Untuk "meresmikan" perubahan keadaan itu, Sadrach - waktu itu 40 tahun, piatu, dan berada di "gereja yang lain"
menambahkan Suropranoto di belakang namanya. Merupakan hal biasa, terutama di kalangan priayi, memakai - atau, lebih tepat,
memohon - nama baru kepada Raja, pada saat kenaikan jabatan, misalnya. Kebiasaan ini masih tetap hidup di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Nama-nama itu biasanya terdiri dari kata Sanskerta atau Jawa kuno yang bunyinya saja sudah mendatangkan semacam
keningratan bagi yang menyandang.
Karena bukan priayi, Sadrach sebenarnya tidak boleh secara resmi memakai nama itu.
Tetapi tidak dapat disangkal, dengan mempergunakan nama Suropranoto sekaligus ia ingin mempermaklumkan bahwa ia menganggap
dirinya "yang berani memimpin, berkuasa" - arti nama itu. "Memimpin" itu (pranata) dengan segera akan berasosiasi dengan ide
kekuasaan, lalu kekuasaan politik. Ini hanya menjelaskan bahwa sebagian tuduhan yang dilancarkan terhadap Sadrach selalu
berkaitan dengan pemakaian nama Suropranoto ini.
Dalam kenyataan, Sadrach memang telah menyempurnakan organisasi
komunal-komunalnya yang makin lama makin tersebar. Ia mengadakan pertemuan para penanggung jawab pelbagai komunal atau kelompok
di Karangjoso, setiap 35 hari, jadi setiap satu bulan Jawa, pada Selasa Kliwon. Organisasinya adalah campuran dari tradisi dan
kenekatan.
Yang dikristenkannya adalah lapisan-lapisan yang sudah terstruktur (guru-murid). Dengan pintar ia
mempertahankan keadaan semacam ini.
Sebab itu, mengherankan, dalam sumber Belanda, semua guru dinamakan pastor.
Sadrach mengintegrasikan mereka dalam suatu kesatuan yang jauh lebih luas dari dahulu. Ia kembali mengambil sesuatu yang
ternyata telah dibiarkannya begitu saja selama ini: kekuasaan nyaris tak terbatas, terhadap para pengikut. Bukan saja pusat
keputusan sekarang berada di Karangjoso; tetapi setiap komunal memilih para tetua beserta bekas guru mereka sebagai wakil
mereka, dan "grup direksi" baru inilah yang datang ke Karangjoso. Selain itu juga terdapat "pendeta keliling" yang berjalan
dari desa ke desa menyebarkan agama.
Dan, di atas semuanya, terdapat Sadrach, yang menginspeksi pelbagai komunal
atau mewakilkannya kepada dua tangan kanannya, Johannes dan Markus. Sadrach mengatur persoalan para pengikutnya lewat surat
yang boleh dikatakan resmi - dan inilah yang membuatnya nanti dikecam pemerintah.
Karangjoso betul-betul menjadi
pusat komunal. Tak ada lagi hubungan dengan hirarki Kristen yang semata-mata Belanda itu. Mereka ini merupakan kelompok penting
penganut Kristen yang - gara-gara ulah orang Belanda - berada benar-benar di luar gereja, dan, resminya, di luar
berkat.
Tapi itu riwayat masa lalu.
*Sumber Majalah Tempo 2 November 1985
dilihat : 462 kali