|

|
Minggu, 09 Januari 2005 00:00:00
Ratzinger dan Relativisme Iman
KARDINAL Joseph Ratzinger menjadi Paus ke-265 dan memilih nama Benediktus XVI. Sebelum konklaf
dimulai, Ratzinger mengatakan bahwa satu bahaya besar bagi Gereja Katolik Roma adalah tersebarnya suatu "relativisme iman".
Pernyataan tersebut merangkum inti keyakinan Ratzinger selama ini.
Dalam konteks Indonesia yang dicirikan oleh
keragaman agama, kepercayaan, dan budaya, pernyataan tersebut bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan krusial. Dua di antaranya
adalah tentang dialog antar-agama dan tentang fundamentalisme agama.
PERTAMA, dialog antar-agama. Pada
tahun 1984 Vittorio Messori, seorang wartawan Italia, melakukan wawancara dengan Ratzinger. Dalam terjemahan bahasa Inggris,
hasil wawancara tersebut diterbitkan dengan judul The Ratzinger Report: An Exclusive Interview on the State of the Church
(1985). Salah satu pertanyaan kritis-atau mungkin lebih tepat dikatakan sebagai salah satu kekhawatiran di kalangan orang
Katolik Roma-adalah bahwa keyakinan Ratzinger akan menghambat berkembangnya dialog antar-agama. Dalam kerangka pembicaraan
tentang hubungan Gereja Katolik Roma dengan Gereja-gereja lain, ia mengatakan, "dialog dapat memperdalam dan memurnikan iman
Katolik, tetapi tidak dapat mengubahnya dalam tataran esensinya yang sejati" (1985:155).
Dalam kesempatan yang sama
Ratzinger juga menegaskan, "definisi-definisi jelas dari iman seseorang akan membantu semua pihak, termasuk partner dalam
dialog" (1985:155). Dengan kata lain, dialog hanya bisa terjadi justru kalau masing-masing pihak sungguh meyakini imannya. Di
sini terlihat kembali keyakinan Ratzinger bahwa dialog antar-agama tidak boleh jatuh menjadi suatu sikap yang mengagungkan
"relativisme iman".
Dalam konteks dialog antar-agama, sebuah sikap yang bisa muncul adalah sikap yang begitu saja
menganggap bahwa semua iman itu sama. Sikap semacam ini mengidentikkan "toleransi" dengan "relativisme". Toleransi (Latin:
tollerare, berarti ’mengangkat’) adalah sikap yang memperlihatkan kesediaan tulus untuk mengangkat, memikul, menopang bersama
perbedaan yang ada antara satu agama dan agama lain. Relativisme adalah sikap yang yakin bahwa segala sesuatu adalah relatif;
bahwa segala sesuatu ditentukan bukan oleh apa yang ada dalam dirinya sendiri, melainkan oleh hubungan (Latin: relatio) antara
sesuatu dan sesuatu yang lain.
Relativisme iman adalah sikap yang menghayati iman bukan dengan keyakinan akan apa
yang ada dalam kekayaan iman tertentu, melainkan dengan pemutlakan adanya hubungan dengan iman lain. Relativisme menomorduakan
gerakan ke arah dalam karena terus menyibukkan diri dengan pandangan ke arah luar. Relativisme menghindari kejujuran untuk
melihat ke-khas-an yang berbeda di dalam karena terus mencoba menemukan ke-umum-an yang sama di luar.
Sebuah dialog antar-agama yang sejati tidak mungkin ada tanpa sebuah keyakinan akan apa yang ada di dalam kekayaan
iman tertentu. Dengan kata lain, relativisme iman, dalam bentuknya yang paling ekstrem, justru akan membawa orang pada sebuah
keengganan, atau bahkan ketakutan, untuk berpegang pada komitmen imannya. Tanpa sebuah komitmen iman ke dalam, tidak mungkin
seseorang bisa menopang bersama apa yang ada di luar. Relativisme iman, dengan demikian, justru merupakan musuh terbesar yang
bisa menghambat terciptanya sebuah toleransi antar-agama yang sejati.
Keyakinan Ratzinger (atau sekarang Paus
Benediktus XVI) adalah keyakinan yang justru ingin menyerukan pentingnya toleransi. Dalam konteks Indonesia, keyakinan itu bisa
dibahasakan sebagai sebuah seruan untuk menciptakan sebuah iklim beriman di mana setiap orang, apa pun agamanya, mendapat ruang
luas untuk secara berani membuat komitmen imannya. Toleransi sepihak, di mana pihak yang takut harus menopang adanya perbedaan
antara apa yang ada di dalam iman yang diyakininya dan apa yang ada di luar, bukanlah sebuah toleransi, melainkan depresi.
Toleransi sepihak, di mana pihak yang begitu berani meminta pihak luar untuk menopang apa yang ada di dalam keyakinan imannya
sendiri bukanlah sebuah toleransi, melainkan opresi. Baik depresi iman maupun opresi iman tidak akan pernah menjadi dasar kokoh
bagi terciptanya dialog antar-agama yang sejati.
KEDUA, fundamentalisme agama. Sebuah sikap berani dan yakin bisa
berkembang menjadi terlalu berani dan terlalu yakin. Yang terjadi adalah sebuah sikap yang memutlakkan kebenaran yang dimiliki
di dalam serta menutup diri terhadap kebenaran lain di luar. Maka pertanyaan krusial terhadap sikap Paus Benediktus XVI yang
menentang dengan tegas suatu relativisme iman adalah: kriteria apa yang bisa menjadi batas antara keyakinan iman yang berani,
tetapi tetap inklusif? Artinya, bagaimana orang mengembangkan dengan berani sebuah keyakinan iman yang tidak eksklusif, tidak
absolut, tetapi sekaligus tidak relativistis?
Pada tanggal 27 Januari 1988 Ratzinger berbicara di Gereja Lutheran
Santo Petrus di kota New York dalam kesempatan Erasmus Lecture. Pokok pembicaraan adalah seputar penafsiran Kitab Suci. Ulasan
Ratzinger itu diterbitkan sebagai salah satu tulisan dalam buku berjudul Biblical Interpretation in Crisis: The Ratzinger
Conference on Bible and Church (1989). Dalam kesempatan itu ia kembali menegaskan demikian, "Tentu saja teks- teks (Kitab Suci)
harus pertama-tama dirunut kembali ke asal-usul historisnya dan ditafsirkan dalam konteks sejarah yang tepat. Meskipun
demikian, selanjutnya dalam tahap penafsiran yang kedua, orang harus melihat teks-teks itu juga dalam terang totalitas
perjalanan sejarah […]" (1989:20).
Strategi penafsiran semacam ini menjadi peringatan tegas bagi bahaya
fundamentalisme dalam penafsiran Kitab Suci. Strategi ini menegaskan bahwa dalam penafsiran Kitab Suci, orang harus melakukan
dua hal penting. Pertama-tama, orang harus berani masuk sedalam mungkin pada kekhasan iman dalam titik sejarah tertentu dalam
proses penyusunan teks (artinya, sebuah keterpisahan momen yang eksklusif). Meski kemudian, orang harus berani keluar dan
menempatkan satu titik khusus dalam sejarah itu dalam rangkaian sejarah yang jauh lebih luas (artinya, sebuah keterkaitan
momen- momen yang inklusif).
Rangkaian sejarah yang lebih luas ini mencakup juga sejarah pewahyuan kebenaran dalam
agama-agama lain. Penafsiran Kitab Suci yang benar tidak akan pernah membuat orang menjadi fundamentalistis dan tertutup. Bukan
karena semua iman sama, tetapi karena orang tersebut melihatnya dalam terang sejarah yang lebih luas. Singkat kata, Paus
Benediktus XVI, sejalan dengan sikap Gereja Katolik Roma, menentang dengan tegas fundamentalisme agama dalam bentuk apa pun,
termasuk yang mungkin timbul di kalangan orang-orang dalam Gereja Katolik Roma sendiri.
Bagaimana Paus Benediktus
XVI ini akan mengembangkan keyakinannya, tentu masih harus dibuktikan. Hari-hari ini orang-orang dari Gereja Katolik Roma bisa
berseru kepada (dan bersama) orang-orang sedunia: Habemus papam!
TA Deshi Ramadhani Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara, Jakarta; Dosen Tafsir Kitab Suci; Doktor Teologi dari Jesuit School of Theology, Berkeley, California, Amerika
Serikat
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0504/21/opini/1701701.htm
dilihat : 450 kali