|

|
Senin, 10 Januari 2005 00:00:00
M Syafi'i Anwar dan Obsesi Pluralisme
Wacana
pluralisme kini kembali memperoleh relevansinya dengan terjadinya berbagai peristiwa yang mengganggu hubungan antarpenganut
agama-agama di Indonesia. Namun, pluralisme sering dipahami secara salah dengan menganggap menyamakan semua pandangan
agama-agama yang berbeda.
Itu salah besar. Pluralisme itu mengakui keberagamaan orang lain, tanpa harus setuju.
Selain itu, yang terpenting, bukan sekadar menjadi toleran, melainkan menghormati ajaran agama orang lain. Dan sadar betul
bahwa keberagamaan orang lain itu bagian yang sangat fundamental dan inheren dengan hak asasi manusia, kata M Syafi'i Anwar
(52), seorang intelektual Muslim yang sejak lama bergelut dengan pluralisme.
Syafi'i Anwar mengkhawatirkan fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan pluralisme bisa ditafsirkan lain di masyarakat bawah. Hal ini pada gilirannya
akan mengganggu hubungan antarpenganut agama-agama.
Konsep pluralisme yang tidak sekadar toleransi, tetapi lebih
menuju kepada penghormatan (respect) kepada yang lain (the others), diakui Syafi’i misalnya dikemukakan Klaus-Jurgen Hedrich,
salah seorang tokoh Partai CDU (Christian Democratic Union) Jerman Barat yang juga mantan Wakil Menteri Kerja Sama Ekonomi dan
Pembangunan.
Pendapat Klaus ini saya setujui sepenuhnya. Namun, Islam sendiri sebetulnya juga mengajarkan
pluralisme, ujar pria kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 27 Desember 1953, itu.
Akan tetapi, kegiatan untuk
memperjuangkan pluralisme tersebut bukannya tanpa hambatan. Ketika memimpin jurnal Ulumul Quran darah saya pernah dihalalkan
oleh sekelompok radikal yang meminta mencabut tulisan Cak Nur (Nurcholish Madjid), tuturnya kepada Kompas pekan
ini.
Warga Muhammadiyah ini sekarang menjadi Direktur Eksekutif International Centre for Islam and Pluralism (ICIP),
lembaga yang mendorong dan mempromosikan pluralisme, toleransi, hak asasi manusia, dan demokrasi.
Di tengah
kesibukannya memimpin ICIP, sejak tahun 1999, Syafi'i An`war menyelesaikan studi S-3 di Universitas Melbourne, Australia, dan
lulus tahun 2005. Ia menulis disertasi berjudul Negara dan Islam Politik di Indonesia: Sebuah Studi Politik Negara dan Perilaku
Politik Pemimpin Muslim Modernis di Bawah Rezim Orde Baru Soeharto 1966-1998”.
Disertasi itu berfokus pada
berbagai perilaku politik para pemimpin Muslim modernis dalam merespons kebijakan negara di bawah rezim Orde
Baru.
Ada dua kelompok Islam yang bisa bertolak belakang satu sama lainnya, yakni progresif-liberal, dan
puritanisme-konservatif. Bagaimana pendapat Anda?
Munculnya kelompok liberal ini sebagai reaksi dari keberadaan
kelompok Islam garis keras. Kelompok garis keras ini dicirikan dengan sikap yang menafsirkan segalanya dengan literal
tekstual.
Ciri yang paling menyedihkan adalah dipakainya cara kekerasan, baik secara simbolik maupun fisik. Sikap
seperti ini tidak hanya bertentangan dengan hukum nasional, tetapi juga bertentangan dengan hak asasi manusia. Padahal, dalam
agama Islam sendiri dilarang.
Akar masalahnya apa?
Pertama, muncul dari paradigma berpikir yang dibentuk
oleh tafsir yang literal. Contohnya, dalam kelompok garis keras itu masih percaya orang Yahudi atau Nasrani itu tidak akan
berhenti sebelum kamu masuk agamanya mereka. Nah, kalau tafsirnya literal tekstual, jelas akan membentuk sikap garis keras
apalagi jika ini kemudian menjadi pola pikir (mindset).
Faktor kedua yang juga mendorong munculnya kelompok ini
adalah masyarakat yang tanpa hukum, krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan ketidakpastian politik sehingga kelompok garis
keras melihat hukum yang tak berjalan ini perlu diganti dengan syariah sebagai alternatif. Ini dilihat mereka sebagai obat
mujarab yang bisa dipakai untuk menyelesaikan semua masalah.
Apakah juga karena faktor paradoks
globalisasi?
Ya, secara struktural adanya ketakadilan politik global, terutama di Timur Tengah, khususnya krisis
Israel dan Palestina, serta sikap standar ganda AS.
Globalisasi, dalam satu segi positif. Namun, pada saat yang sama
juga menyebabkan hal yang negatif. Di antaranya, terjadinya alienasi terhadap masyarakat, yang kemudian menimbulkan resistensi
yang tinggi. Terutama karena kita melihat adanya ketidakadilan global, pendapatan, kontribusi dalam diskursus.
Pada
saat yang sama agama tidak muncul sebagai solusi, tetapi menjadi sarana pelarian dari persoalan. Kelompok garis keras ini ingin
segera keluar dari masalah dan mencari jawaban di agama dan membentuk resistensi diri yang memperkuat identitas diri yang hanya
memperkuat keakuannya dan menghilangkan keberagaman.
Bagaimana cara menjembatani dua kelompok
itu?
Munculnya kelompok-kelompok progresif-liberal, seperti Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, Jaringan Islam
Liberal (JIL), karena melihat cara-cara garis keras tidak benar.
Persoalannya, apa yang dilakukan teman-teman di JIL
ini memang mendekonstruksikan semua hal dalam Islam.
Dekonstruksi terhadap syariat, dekonstruksi terhadap teks, pada
beberapa aspek memang menghasilkan hal yang positif karena mengembangkan diskursus, tetapi pada level di masyarakat bawah
menjadi shock.
Kritik saya, sebagai sesama pendukung Islam progresif-liberal, adalah dalam melakukan dekonstruksi
kurang diimbangi oleh metodologi yang kuat. Yang dilakukan hanyalah dekonstruksi, tetapi tidak diiringi dengan
rekonstruksi.
Makanya, saya lebih senang menggunakan istilah pluralisme. Dalam Islam sendiri, pluralisme diberikan
tempat. Ada Syiah, Sunni, dan sebagainya.
Pendidikan pluralisme
Syafi’i Anwar percaya, untuk mengubah
pola pikir masyarakat tentang keragaman keberagamaan, solusinya adalah pendidikan pluralisme dan multikulturalisme di
sekolah-sekolah.
Usulan pendidikan pluralisme itu berasal dari sambutannya di Regional Conference yang
diselenggarakan ICIP bekerja sama dengan Uni Eropa pada 25-28 November 2004.
Terlebih lagi ide tersebut sejalan
dengan Deklarasi Bali tentang Membangun Kerukunan Antar-agama dalam Komunitas Internasional dari 174 tokoh Asia-Eropa yang
mengikuti dialog antar-agama 21 Juli 2005. Dalam deklarasi itu diusulkan antara lain membuat kurikulum di sekolah lanjutan
mengenai studi antar-agama, yang dimaksudkan untuk menumbuhkan pemahaman dan saling menghormati antarpemeluk agama yang
berbeda-beda.
Bagaimana menyatukan di dalam semangat pluralisme jika di masing-masing kelompok itu saling
melecehkan?
Menurut saya, solusi yang paling jitu adalah melalui pendidikan pluralisme dan multikulturalisme. Hanya
melalui pendidikanlah orang bisa mengubah mindset-nya. Saya percaya betul dengan pendidikan pluralisme. Namun, karena psikologi
masyarakat Indonesia, untuk membicarakan level teologi akan lebih baik jika sudah masuk SMA atau perguruan tinggi. Yang
terutama diajarkan adalah sejarah agama- agama. Saya kira orang yang tahu sejarah agama-agama tidak akan pernah menjadi
radikal.
Itulah yang sedang dikerjakan oleh ICIP, seperti membuat program di televisi tentang dialog antar-agama.
Juga pendidikan jurnalistik pluralisme.
Masa depan pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia seperti
apa?
Tidak selayaknya orang Islam mengklaim mayoritas karena sejak awalnya, masuknya Islam ke Indonesia melalui
dakwah kultural, tak melakukan pendekatan yang mengutamakan syariah. Bahkan, unsur sufisme, tasawuf, sangat besar dalam
mengembangkan Islam di Indonesia karena Islam harus beradaptasi dengan kultur lokal. Harus beradaptasi dengan kepercayaan-
kepercayaan dan kebijaksanaan lokal (local wisdom) lainnya.
Karena itulah, kalau kemudian Islam menjadi mayoritas,
tidak selayaknya mereka menilai rendah kepada minoritas. Nah, itu yang harus disadari. Karena itulah, di Indonesia yang menjadi
negara dengan mayoritas Muslim tidak selayaknya menekan minoritas.
Sayangnya, dakwah Wali Songo yang terbukti dalam
sejarah berhasil menyebarkan Islam melalui kultural harusnya menjadi contoh. Bagaimana Sunan Kalijaga memasukkan unsur Islam
dalam cerita pewayangan. Tentu itu harus bisa dijadikan pengalaman berharga dalam melakukan dakwah.
Bagaimana
prospek politik Islam Indonesia ke depan?
Dari Pemilu 1999, ternyata mereka yang menggaungkan partai Islam terpuruk,
di Pemilu 2004 juga menurun. Kecuali Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang naik, tetapi tidak membawa isu Islam secara
spesifik.
PKS menggunakan semboyan kampanye bersih dan peduli. PKS bagus organisasinya, selain pengurusnya banyak
menjunjung moral. Tidak menerima sogokan, mereka menonjol di tengah partai sekuler yang banyak korup.
Namun, harus
dicatat, mampukah PKS tidak memperjuangkan syariah? Kalau itu diperjuangkan, mereka akan kehilangan dukungan lagi. Saya
khawatir PKS akan seperti PAS (Partai Islam Semalaysia) di Malaysia.
Saya mengharapkan partai Islam itu inklusif,
pluralis, terbuka. PKS itu punya potensi untuk inklusif, mereka berpendidikan, bisa diajak dialog, serta punya modal dan
keinginan untuk maju.
Fundamentalisme itu dalam istilah adalah ideologi luar pagar. Ketika masuk pemerintahan,
mereka akan akomodatif. Masyarakat Indonesia itu sangat plural. Kalau memaksakan kehendak, akan menghancurkan dan menimbulkan
konflik yang luar biasa.
Oleh: SUBUR TJAHJONO dan IMAM PRIHADIYOKO (kompas, Sabtu, 30 Juli 2005 )
dilihat : 413 kali