|

|
Kamis, 18 Agustus 2005 00:00:00
PendahuluanMengapa saya memilih Mega? Saya akui, judul tersebut terdengar provokatif. Tapi pasti tidak
salah. Kita - sebagai bangsa dan sebagai gereja - telah tiba di satu titik, di mana kita mesti mempunyai pilihan yang jelas.
Tidak bias lagi main "netral-netralan. Di sini, terus terang, saya iri kepada gereja Roma Katolik.
Mengapa saya
memilih Mega? Apakah karena saya anggota PDIP? Tidak! Saya memang anggota PDIP. Tapi bukan karena itu, saya memilih pasangan
ini. Saya memilih Mega, demi Tuhan, bukan sebagai partisan partai politik tertentu. Bukan pula secara oportunistik Di mana
saya memilih yang paling populer dan kira-kira akan menang. Para konglomerat, khususnya yang "hitam", memang begitu. Tapi
pilihan saya ini, kita tahu, justru sedang merosot deras popularitasnya. Jadi mengapa saya memilih “dia”, sementara orang
banyak meliriknya pun tidak?
Saya memilih Mega, karena alas an-alasan (yang saya anggap) "obyektif” dan "realistis".
Obyektif, karena saya punya dasar-dasar yang rasional untuk itu. Dan "realistis", karena saya -seperti kita semua - mengetahui,
keduanya bukanlah calon-calon yang "ideal". Namun demikian, pasangan inilah yang "terbaik" di antara yang "buruk". The best
among the worst.
Toh, saya akui, tidak mungkin saya bias obyektif 100 persen. Tak seorang pun bisa. Bagaimanapun,
pilihan saya itu, pada akhirnya, tidak mungkin terlepas dari relitas dan perspektif saya sebagai seorang Kristen, sebagai
seorang keturunan Cina, sebagai seorang aktivis, sebagai seorang Pancasilais, dan karenanya seorang yang inklusif, pluralis,
dan "committed" kepada NKRI.
Pada waktunya saya akan menjelaskan lebih lanjut makna dari semua yang saya katakan
itu, Tapi sebelum itu, perkenankanlah saya menjawab dulu pertanyaan yang kemungkinan besar mengganjal di benak dan hati Anda.
Yaitu, pantaskah dalam forum seperti ini, kita menyebut nama? Sebagai “gereja”, khususnya gereja-gereja Protestan, ‘kan maunya
kita ini serba netral, serba aman-walau, sebagai konsekuensinya, kita lalu menjadi serba tidak jelas dan tidak tegas dan, yang
memrihatinkan, tidak terkoordinasi.
Jawab saya adalah, mengapa tidak?! Why not? Pertama, dengan sadar dan sengaja,
saya memberi judul presentasi saya ini, “Mengapa saya memilih Mega?". Maksudnya, saya tidak mengatas-namai siapa pun, kecuali
mewakili diri saya sendiri. Itu sebabnya saya tidak memilih judul, misalnya, “Mengapa GKI harus memilih Mega ?”. Atau, "Anda
cuma punyasatu pilihan: Mega!”. Tidak
Karenanya, seperti nampak pada judulnya, presentasi ini pada hakikatnya adalah
sebuah kesaksian; sebuah upaya berbagi (= sharing). Tidak lebih, tidak kurang. Bukan fatwa.Bukan
kampanye.
Saya
ingin bersaksi dan berbagi dengan Anda, hal-hal yang saya anggap benar, baik, penting, dan perlu untuk anda ketahui. Jadi
mengapa tidak boleh bersaksi dan berbagi? Kalau Slamet Rahardjo Djarot boleh bersaksi ditelevisi, mengapa ia memilih Amien
Rais, mengapa saya tidak
Boleh bersaksi didahadapan anda mengenai pilihan saya ?
Bahwa anda sudah punya pilihan
yang lain, itu sepenuhnya adalah hak dan kebebasan Anda. Tak sedikit pun saya bermaksud mengusiknya. Bahkan. bila berkenan.
saya ingin mengajak Anda bertukar pandangan dan berbagi argumentasi mengenai perbedaan tersebut. Siapa tahu, Anda lebih benar
daripada saya.
Presentasi saya ini tidak terutama saya tujukan kepada Anda yang telah mempunyai pilihan yang mantap
dan pasti. Melainkan dengan penuh kerendahan hati, saya tujukan bagi Anda –saudara-saudari saya seiman dan sebangsa -- yang:
(a) masih bingung dalam menentukan pilihan; atau (b) sudah mempunya pilihan, tapi sebenarnya berdasarkan pertimbangan yang
(saya saya anggap) salah dan/atau informasi yang kurang lengkap.
StrategiBagaimana saya tiba
pada pilihan saya? Pertama, saya mempunyai perhitungan matematis yang amat sederhana untuk tiba pada pilihan itu. Begini. Saya
tahu, banyak suadara-saudara saya seiman yang telah mantap memilih SBY. Mengenai ini saya tidak merasa terganggu, walau saya
mempunyai catatan dan penilaian sendiri tentang pasanganSBY-Kalla ini.
Perhitungan saya begini. Dengan atau tanpa suara
Anda, artinya Anda memilih dia atau tidak, pasangan ini akan lolos ke putaran kedua. Jadi yang harus menjadi concern utama kita
sekarang, menurut pendapat saya, adalah pasangan mana yang mesti kita perjuangkan untuk lolos ke 20 September nanti. Ada tiga
kemungkinan yang paling realistis, pasangan AR-SY, pasangan W-SW, dan pasangan M-HM.
Nah, pertanyaan kita menjadi sedikit
lebih sederhana. Apa anda ingin Amien Rais yang menang? Atau Wiranto? Atau Mega? Kalau saya, pertanyaan seperti ini mudah
sekali untuk kita jawab. Di antara tiga alternatif itu, pasangan M-HM tidak dapat tidak - dari perespektif kita - adalah
yang
paling kita kehendaki untuk lolos.
Tapi ini tidak mudah. Kans M-HM untuk lolos, sampai sekarang, adalah
fifty-fifty - atau malah kurang. Karena itu, kalau kita memang betul-betul yakin akan pilihan kita, kita harus berjuang,
bekerja keras, untuk mengusahakan tambahan suara. Bahkan, demi strategi kita, saya ingin Anda yang tclah mantap memilih SBY -
paling tidak untuk putaran ini - mengalihkan suaranya untuk M-HM. Bukan karena pilihan Anda itu salah, tapi agar 20 September
nanti yang maju adalah pasangan-pasangan yang paling kita kehendaki. Sementara itu, pilihan Anda - SBY-YK -- toh saya yakin
akan maju, walaupun kali ini suara Anda bukan untuk mereka.
Jadi strategi kita, menurut pendapat saya, adalah untuk
putaran pertama ini, paling jauh adalah pasangan yang kita kehendaki maju, dan paling tidak (sekiranya pun M-HM gagal) pasangan
yang tidak kita kehendaki jangan sampai maju. Menghadapi putaran kedua, kita akan memikirkan strategi yang lain lagi. Ini akan
kita lakukan pada waktunya.
Pasangan yang padu
Setelah strategi kita jelas, tentu saja saya harus
mempertanggungjawabkan mengapa saya memilih Mega. Pertanyaan ini ingin saya letakkan dalam kerangka pertanyaan yang lebih
substansial. Bagaimana sih gambaran kita mengenai siapa presiden dan wakil presiden yang "ideal" itu? Ini tidak sulit
dijawab.
Bagi saya, dan saya kira kita semua setuju, (a) keduanya - capres dan cawapres - itu harus merupakan sebuah
"simbiosis" yang baik. Mitra yang sejajar. Penolong yang sepadan. Maksud saya, mitra yang lain itu tidak boleh hanya "dicomot",
sekadar demi bisa meraup suara sebanyak-banyaknya. Misalnya, karena yang satu "Jawa" maka yang lain sebaiknya
"non-Jawa";
atau karena yang satu "militer" yang lain "sipil"; atau karena yang satu "islami" yang lain "nasionalis".
Sebab yang mesti lebih dipertimbangkan adalah: apakah, sekiranya terpilih, mereka berdua akan merupakan pasangan yang
benar-benar "padu".
Sebab itu menarik sekali mendengar Pak Hasyim Muzadi mengatakan, bahwa ia menerima "lamaran"
Megawati, Justru untuk menghilangkan dikotomi antara "nasionalis" dan "Islam", serta untuk mengintegrasikan pekik "Merdeka!"
dan "Allahhu Akbar". Menarik pula kesaksian pribadinya, mengapa ia menampik lamaran calon yang lain. Karena ia tidak mau
digulung tanpa daya oleh mesin politik yang telah keburu luar biasa kuat dari pelamarnya itu. Ia ingin menjadi uequal partner”
- yang aktif. saling mengisi dan saling menyempurnakan. Dan ini, ia lihat mungkin ia lakukan, bila berpasangan dengan Megawati
dan tidak dengan Wiranto.
Jadi, bila Anda mau menilai, mana di antara lima pasangan yang ada yang sebaiknya Anda
pilih, lihat dan nilailah mana di antara mereka yang betul-betui bisa menjadi sebuah "pasangan" yang harmonis, efeklif dan
produktif selama 5 tahun bekerja-sama nanti. Sebab kalau tidak, maka rakyatlah nanti yang harus menanggung "excess baggage"
dibebani untuk memecahkan persoalan antar-mereka, bukan mereka yang memecahkan masalah rakyat. Megawati dan Hasyim Muzadi,
sepanjang saya mengenal mereka. memiliki nilai-nilai dasar (= basic values) yang sama. Misalnya dalam mereka melihat dan
menyikapi masalah kemajemukan. kesatuan dan persatuan, perlakuan terhadap kelompok minoritas, dan
lain-lain.
Kemudian, masih ada tiga persyaratan pokok lagi yang harus dipenuhi oleh presiden dan wakil presiden yang
"ideal". Tapi mengenai ini, rasanya saya tidak perlu berbicara panjang lebar, sebab telah dimuat dalam "Surat Penggembalaan
BPMS GKI Menjelang Pemilu Presiden 2004", yang diberi judul "Jangan Salah Pilih!". Saya akan mengutip yang pokok-pokok
saja.
Akseptabilitas dan Kredibiltas,Dua syarat ini dibutuhkan, khususnya dalam hubungan
fungsi presiden sebagai "kepala negara". Dengan "akseptabilitas", saya maksudkan, yang bersangkutan diterima oleh rakyat dengan
ikhlas
sebagai presiden mereka, secara lintas etnis, lintas suku, lintas ras, lintas daerah, lintas agama,
dan
sebagainya.
Konsekuensinya, yang bersangkutan haruslah orang yang berkepribadian inklusif, punya komitmen nasional,
serta menghargai dengan sepenuh hati realitas kemajemukan masyarakat kita. Dan "kredibel", artinya: tidak boleh mempunyai cacat
di bidang pelanggaran HAM berat, serta tindakan-tindakan diskriminatif baik yang bersifat primordial, sosio-ekonomis, maupun
ideologis.
KapabilitasSyarat ini mutlak dipenuhi oleh setiap pemimpin, apa lagi oleh seorang
presiden. Khususnya. dalam hubungan dengan fungsi yang ditentukan dalam UUD kita bahwa presiden adalah "kepala pemerintahan"
(berbeda dengan Singapura, misalnya).
Karena itu, yang patut kita pilih adalah calon yang kita yakini punya visi
kenegarawanan, kemampuan kepemimpinan, serta keterarnpilan manajerial yang memadai. Kalau pun kualitas ini tidak dapat dipenuhi
secara optimal oleh yang bersangkutan - tidak dapat kita jadikan tuntutan mutlak, sebab bagaimapun jabatan presiden adalah
jabatan politis, bukan profesi. Bnd. Ronald Reagan - , kekosongan ini harus diisi dengan membentuk sebuah tim kerja, yaitu
kabinet yang kompak dan terdiri dari tenaga-tenaga ahli.
Sayas sangat setuju bahwa Indonesia membutuhkan sebuah
pemerintahan yang kuat dan efektif. Tapi mesti diingat, bahwa pemerintahan yang kuat sama sekali tidak identik dengan
kekerasan. Juga tidak ada hubungannya dengan figur militer atau sipil. Pemerintahan yang kuat dan efektif akan lahir secara
alamiah melalui legitimitas - bukan sekadar legalitas - dari rakyat, karena keteguhan prinsipnya, integritas moralnya dan
keberhasilannya membangun semangat kebersamaan. Latar belakang yang kuat dari Hasyim Muzadi dalam "Gerakan Moral Nasional",
menurut saya/sangat membantu.
Dalam hubungan ini perlu pula saya sebutkan, betapa vitalnya sebuah pemerintahan yang
demokratis dan bersih itu. Karenanya, calon yang kita pilih wajib mempunyai komitmen, keberanian dan kemampuan untuk
memberantas segala bentuk korupsi dan penyelewengan. Kita harus mewaspadai calon yang patut kita duga mempunyai kepentingan
melindungi diri dari kemungkinan tindakan hukum karena perbuatannya di masa lalu!
Simpati
InternasionalSyarat yang ketiga tidak kurang pentingnya khususnya dalam realitas politik global dewasa ini.
Dalam era globalisasi ini, kita betul-betui membutuhkan seorang presiden yang diterima dan memperoleh simpati dunia
internasional. Paling sedikit, tidak berpotensi menghadapi masalah dalam hal ini. '
Saya ingat apa yang
pernah terjadi pada seorang presiden terpilih Austria, Ia terpilih secara demokratis. Tapi beberapa negara Eropa dan AmeriKa
menolaknya, karena ia dianggap punya latar-belakang hitam sewaktu pemerintahan Nazi. Negara-negara ini tentu tidak berhak
menolak hasil pemilu. Tapi mereka mengancam bahwa presiden terpilih ini tidak pernah akan diberi visa masuk ke negara-negara
tersebut.
Hanya beberapa bulan, presiden terpilih itu akhirnya terjungkal. Ya, faktor presepsi serta apresiasi dunia
internasional tidak dapat lagi kita pandang remeh.atau kita nafikan dengan mengobar-ngobarkan sentimen-sentimen
nasionalisme.yang sempit!
Semua Perlu Kita CermatiMenurut pengamatan saya, yang sangat
mengkhawatirkan adalah bahwa banyak sekali dari antara kita yang menentukan pilihannya, "hanya" berdasarkan dukungan serta
simpati kepada si "calon presiden" semata-mata. Ini jelas tidak memadai dan bisa membuat kita kecele. Sebab kita tahu, bahwa si
capres itu nanti, bila terpilih, tidak akan bekerja sendiri. Dan yang tidak boleh kita lupakan adalah, bahwa yang bersangkutan
bisa menjadi "capres" atau "cawapres", setelah melalui proses "deal-deal" dan transaksi politikyang panjang yang terjadi di
balik pintu tertutup. Dengan perkataan lain, yang bersangkutan bisa menjadi "capres" karena memberikan konsesi-konsesi politik.
Konsesi-konsesi ini, karena tersembunyi, hanya bisa kita tebak-tebak. Tapi jelas sekali, inilah yang nanti akan menentukan
secara praktis kebijakan-kebijakan yang diambil. Konsesi-konsesi inilah yang akan "mencencang" kaki dan tangan si presiden
terpilih. Dalam tahapan demokrasi di Indonesia sekarang ini, faktor ini justru jauh lebih penting ketimbang, misalnya, platform
atau janji-janji rnanis para calon. Saudara percaya bahwa Hamzah Haz akan berhasil membebaskan biaya pendidikan dari SD sampai
ke SMA? Amien Rais akan berhasil membersihkan korupsi dalam waktu 5 tahun?
Jadi apa-apa saja yang perlu sekali kita
cermati dan analisis di samping figur capresnya? Tak pelak lagi. adalah cermati figur "cawapres"nya (di samping memperhatikan
apakah keduanya
benar-benar dapat menjalin sinergi.yang harmonis). Kemudian, yang juga tak boleh dilupakan
adalah:
cermati partai-partai apa saja yang diajak berkoalisi. Ingatlah, partai-partai ini tak akan
memberi dukungan, bila mereka
tak memperoleh keuntungan apa-apa.
Dan, last but not least, periksa pula "Tim Sukses"nya. Mcngapa Tim Sukses
penting? Karena "tim sukses" ini - paling tidak beberapa di antara mereka - itulah nanti yang akan membentuk "inner circle" -
menjadi orang-orang terdekat - pembisik-pembisik - di sekitar presiden.
Jadi, misalnya, saya dapat mengenal siapa
Wiranto lebih jelas, bukan terutama karena Partai
Golkarnya, atau karena Solahudin Wahid-nya, tapi antara lain berdasarkan
partai-partai mana saja yang mendukungnya (a.l PKPB), dan orang-orang yang ada di Tim Suksesnya (a.l. Jendral Fahurozy dan
Letjen. Suadi Marasabesy). SBY more than alright, tapi kenalkah kita siapa YK atau PBB dengan YM-nya?
Sekiranya
semua ini kita lakukan, maka bagaimana kira-kira hasil yang akan kita peroleh? Berdasarkan semua kriteria yang saya sebutkan
itu, saya mengemukakan hasil penilaian ("obyektif”) saya atas semua calon. Angka yang akan saya berikan ada tiga macam, yaitu:
- angka 3 untuk kategori "baik sekali"; -- angka 1 unluk kalegori "sedang-sedang saja"; dan angka 0 untuk "kurang/diragukan".
Inilah hasilnya:
Capres | Cawapres. | Aksepta./Kredibi. | Kapabi. | Internasional | Partai
Pendu. | Tim
Sukses |
Wiranto | 1 | 0 | 1 | 0 | 0 | 0 |
Mega
td> | 3 | 3 | 1 | 3 | 0 | 1 |
SBY | 1 | 1 | 3 | 3 |
>0 | 1 |
Amien | 3 | 1 | 3 | 1 | 0 | 1 |
Hamzah |
>1 | 1 | 1 | 1 | 0 | 0 |
Rasional dan
ProporsionalHasil di atas menunjukkan. bahwa pasangan Mega-Hasyim memperoleh angka tertinggi Pertanyaannya
adalah: apakah hasil ini sesuai dengan kenyataan yang kita lihat? Saya tahu ada banyak sekali ketidak-puasan - bahkan
kekecewaan -- terhadap prestasi dan kinerja Megawati seiama 3 tahun ia menjadi presiden. Bahkan banyak yang sudah "patah arang"
sehingga tiba pada kesimpulan, "siapa saja asal jangan Mega lagi". Ini dapat saya mengerti.
Saya pun menyimpan amat
banyak kekecewaan, dan dalam pelbagai kesempatan dan forum mengemukakannya secara terbuka Kelambanannya bergerak. "Human dan
Public Relation”nya yang amat buruk. Ketidak-pekaannya memanfaatkan kesempatan. Dan yang paling mengecewakan, tentu saja adalah
dibiarkannya korupsi kian meluas dan mengakar menggerogoti hampir semua sektor dan aras kehidupan. Saya juga gemas karena
keluguannya dan kekakuannya. Mbok ya bisa acting sedikit seperti SBY atau AR. Sebagai orang kristen tentu kita juga amat kecewa
dengan lolos dan diundangkannya SISDIKNAS yang kontroversial itu, walau jelas ini berada di luar kontrolnya. Dengan jujur saya
kemukakan, bahwa sekiranya saja dalam pemilu ini ada pilihan lain yang lebih baik, pasli saya tidak akan memilih Mega!
Pasti!
Kalau kita memilih, tentu saja kita akan memilih yang terbaik, yang ideal. Tapi ketika kita diperhadapkan
pada pilihan antara "yang buruk" dan "yang buruk", maka - apa boleh buat - pilihan kita lalu jadi terbatas pada memilih "yang
lebih kurang buruk"nya. Dan itulah situasi yang kita hadapi sekarang.
Pertanyaan yang paling pokok adalah: Apakah
memilih Mega tidak berarti sama dengan melanggengkan keadaan sekarang? Apakah tidak lebih baik bila - demi perubahan - kita
memberi kesempatan kepada yang lain? Tanggapan saya adalah: cara berfikir seperti ini hanya benar, apabila kita memang berada
dalam situasi Jalan buntu yang benar-benar buntu. Bila Anda berada di persimpangan jalan, dan diperhadapkan pada pilihan: ke
kanan mati, ke kiri juga mati tapi masih ada kemungkinan hidup - walau amat kecil - maka. benar, pilihan kita tentu adalah
belok kiri. Tapi apakah keadaan kita sekarang dapat digambarkan seperti itu? Di sini, kita dapat mempunyai pendapat yang
berbeda. Tapi anjuran dan imbauan saya adalah: marilah kita -- secara kristiani - bersedia lebih rasional dan proporsional
menilai pemerintahan sekarang.
Punai di tanganPertama-tama perlu saya tekankan, bahwa saya
sendiri merasa amat tidak puas dengan prestasi dan kinerja pemerintahan Mega-Hamzah. Banyak hal yang seharusnya dilakukan,
tidak dilakukan. Kalau saya harus memberi nilai antara 1-10, maka nilai yang akan saya berikan untuk pemerintahan ini paling
banter adalah "5". Merah.
Namun demikian, ini belum cukup bisa menjadi alasan, untuk kita mengatakan tentang Mega,
"Enough is enough". Alasan saya sebagai berikut: (a) prestasi pemerintahan ini sebenarnya tidak buruk-buruk amat. Memberi kesan
buruk, karena "public relation" Mega yang amat buruk. Dan masyarakat lebih banyak dicekoki dengan informasi-informasi negatif,
ketimbang kenyataan yang sebenarnya. Fondasi ekonomi, stabililas politik dan keamanan sebenarnya telah berhasil dibangun cukup
mantap. (b) Tentu saja, yang belum baik masih jauh lebih banyak. Ya! Tapi jangan kita lupakan, pemerintahan ini baru berjalan
3,5 tahun. Dan ia dimulai dari situasi kemelut politik yang luar biasa pada waktu itu. Naiknya Mega adalah hasil kompromi
politik, sehingga baik susunan kabinetnya maupun kebijakan-kebijakannya tidak dapat lain ya mesti dijalankan secara
kompromistis. Jadi, pemerintahan sekarang ini sebenarnya "bukan”lah pemerintahan Mega, melainkan pemerintahan "koalisi pelangi"
yang terbangun secara oportunistis pada waktu .itu. Kegagalan pemerintahan ini sebenarnya adalah kegagalan bersama. (c) Dalam
suasana kekecewaan ini, yang agak sering kita lupakan adalah sekiranya saja bukan Mega, tapi SBY atau Wiranto atau Amien Rais
yang jadi presiden selama ini, pastikah mereka akan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang kini mereka limpahkan tangung
jawabnya kepada Mega - soal pendidikan, pengangguran, KKN, hukum, dan sebagainya? Situasi Indonesia kita ini telah demikian
parah dan kompleksnya sehingga saya yakin, tak satu malaikat pun sanggup menyelesaikan masalah Indonesia dalam 3 tahun! (d)
Jangan mudah percaya kepada janji-janji sorga! Kalau ada sinshe atau obat yang menjanjikan kesembuhan untuk semua penyakit, ini
justru alasan yang kuat unluk tidak mempercayainya! Yang kita hadapi sekarang ini adalah, memilih antara "janji-janji" manis
yang sama sekali belum terbukti, dan, "kenyataan-kenyataan" yang walau mengecewakan tapi sebenarnya tidak buruk-buruk arnat,
yang kita alami selama ini. Menurut saya, karena toh Mega tidak buruk-buruk amat, dan ada tanda-tanda bahwa kelemahan itu akan
dapat diisi kalau tidak oleh Hasyim Muzadi, oleh suatu susunan kabinet yang tepat, maka jauh lebih bijaklah bila kita berpikir
sederhana seperti nasihat orang-orang tua kita: "Jangan melepaskan punai di tangan, karena mengharapkan burung terbang tinggi
di angkasa". Kalau salah pilih RT atau RW atau Lurah, masih okelah. Tapi kalau salah pilih presiden. pertaruhannya sungguh
sangat besar.
Kini perkenankanlah saya mengakhiri tulisan ini dengan sebuah permintaan yang sederhana,
tetapi
sebenarnya inti yang paling hakiki dan paling penting dari semua.
• JANGANLAH BERHENTI BERDOA, MEMOHON AGAR TUHAN
SENDIRI YANG MENETAPKAN HAMBA-NYA UNTUK MEM1MPIN NEGERI TERCINTA;
• JANGANLAH BERHENTI BERDOA, MEMOHON AGAR KITA
PEKA DAN DENGAR-DENGARAN TERHADAP KEHENDAK TUHAN, BETAPA PUN MUNGKIN BERLAWANAN DENGAN JALAN PIKIRAN ATAU KEPENTINGAN KITA
PRIBADI;
• JANGANLAH BERHENTI BERDOA, MEMOHON AGAR KITA TIDAK SALAH PILIH, DAN AGAR RAKYAT INDONESIA JUGA TIDAK SALAH
PILIH!
Tanpa bermaksud mengklaim apa-apa, apa lagi menyampaikan "fatwa", saya hendak bersaksi bahwa saya tiba pada
pilihan saya itu, tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan-pertimbangan akaliah saya, tetapi juga setelah melalui pergumulan
doa yang panjang dan sungguh-sungguh. Baru kemudian saya diberi tahu oleh beberapa kawan, bahwa banyak saudara-saudara seiman
yang juga menggumuli ini dalam doa dan puasa mereka, dan .... tiba pada pencerahan yang sama.
Bagaimana bila ada
saudara yang lain yang juga berdoa, tapi "mendengar" jawaban yang berbeda? Mungkin saja! Allah kita maha bebas, maha berdaulat,
dan maha kuasa! Bebas, berdaulat dan berkuasa untuk berbuat apa saja. Yang penting, Anda berdoa. Mohon agar Roh Kudus
memampukan Anda memanfaatkan akal sehat serta hati nurani Anda untuk mengenali
kehendak Allah!
Pdt. Eka
Dharmaputera
Jakarta, medio Juni 2004dilihat : 455 kali